Perayaan Nyepi dan Ogoh-ogoh
Nyepi merupakan tahun
baru saka bagi umat Hindu Bali. Sementara ogoh-ogoh merupakan ritual yang
dipandang menguatkan rasa dalam menyambut dan memasuki tahun yang baru. Sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa pada saat hari nyepi, masyarakat Hindu Bali melaksanakan
pantangan berupa amati geni, amati lelungan, dan amati lelanguan: tidak
menyalakan api, tidak bepergian, dan tidak bersenang-senang. Terjemahan dari
hal ini adalah diam di tempat tinggal, intropeksi dan kontemplasi. Dalam kontek
filosofis, tiga pantangan tersebut mempunyai fungsi pengendalian diri, sebuah
prinsip dasar dari kehidupan sosial untuk menjaga ketertiban. Dengan tiga
pantangan itu, dinamika sosial akan berhenti dan secara otomatis yang muncul
adalah sebuah dorongan berpikir. Kesadaran akan pengendalian diri pada hari
raya Nyepi dengan sendirinya memunculkan kontemplasi, perenungan tentang segala
dinamika diri dan sosial pada satu tahun terakhir. Memunculkan kesadaran akan
kekeliruan dan keberhasilan untuk selanjutnya memilih strategi memperbaiki
kehidupan di masa mendatang.
Sekitar
seminggu sebelum nyepi, jutaan masyarakat Hindu Bali hampir pasti ikut
arak-arakan ke pantai untuk melaksanakan apa yang disebut melasti. Ritual ini
adalah pembersihan peralatan dan sarana persembayangan masyarakat Hindu Bali,
baik dalam kepemilikan individual maupun kelompok. Sehari menjelang Nyepi,
masyarakat Hindu Bali menggelar ritual pengrupukan. Jutaan masyarakat Hindu
Bali melakukan pecaruan, baik di lingkungan rumah tinggal masing-masing maupun
di tingkat desa, kota, bahkan provinsi. Pengrupukan sesungguhnya adalah ritual
untuk membersihkan dan menstabilkan lingkungan. Caru mempunyai makna bersih. Setiap
anggota masyarakat yang melaksanakan persembahyangan akan memercikan air suci
ke dalam dirinya atau melakukan prascita, sebagai symbol pembersihan diri. Nyepi
memberikan suasana yang paling memungkinkan bagi manusia untuk introspeksi dan
menjadi sumber daya penyadaran. Sumber daya dan penyadaran itulah yang dipakai
modal untuk menjalani hidup pada tahun baru Saka berikutnya.
Salah
satu perayaan Nyepi yang ditunggu oleh para wisatawan di Bali adalah
arak-arakan ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh adalah justifikasi psikologis sosial yang
dikaitkan dengan religiusitas. Dalam hal ini, Hindu Bali. Penampilan dan
kemudian pembakarannya menimbulkan semacam kepercayaan diri pada manusia bahwa
kejahatan sudah dapat dikalahkan sehingga memunculkan atau menebalkan keyakinan
tentang kebersihan lingkungan dan kebersihan diri. Ogoh-ogoh adalah wujud
olok-olok kepada kekuatan jahat oleh manusia. Dengan membentuk kekuatan jahat
itu sebagai ogoh-ogoh, masyarakat memperoloknya berbentuk abnormal, badan
gemuk, dada bongsor, dan wajah berantakan serta berjalan tergopoh-gopoh
(ogoh-ogoh). Topeng ini kemudian dibakar sebagai symbol kehancurannya dan
keberhasilan manusia terbebas dari pengaruh jahat, baik dalam diri maupun
lingkungan.
Namun
ogoh-ogoh sesungguhnya hanya simbolis belaka, sebuah hasik kesepakatan sosial. Jadi
sesungguhnya tidak harus berwujud besar, bahkan tidak harus dibuat. Pada hari
pengrupukan, cukup banyak symbol yang menandakan hilangnya kejahatan, misalnya
ritual menyapu lingkungan dan memukul-mukul tanah. Fenomena ogoh-ogoh itu baru
muncul pada pertengahan decade 1980-an, sebagai respons atas kecelakaan yang
terjadi akibat penggunaan Meriam bambu pada waktu itu. Jadi, jauh setelah
munculnya pawai obor dan pawai keuntungan (yang berbaris rapi, murah, tertib,
dan menimbulkan suara indah tanpa bentrokan). Bisnis atau politik pariwisata
kiranya kemudian yang menarik ritual ogoh-ogoh yang mahal ini menjadi massal
dan digandrungi anak-anak sampai remaja, yang bersedia menghabiskan waktu
berminggu-minggu untuk membuat satu ogoh-ogoh saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar