Jumat, 31 Maret 2023

Mengenal Perayaan Nyepi dan Ogoh-ogoh

 Perayaan Nyepi dan Ogoh-ogoh

Nyepi merupakan tahun baru saka bagi umat Hindu Bali. Sementara ogoh-ogoh merupakan ritual yang dipandang menguatkan rasa dalam menyambut dan memasuki tahun yang baru. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pada saat hari nyepi, masyarakat Hindu Bali melaksanakan pantangan berupa amati geni, amati lelungan, dan amati lelanguan: tidak menyalakan api, tidak bepergian, dan tidak bersenang-senang. Terjemahan dari hal ini adalah diam di tempat tinggal, intropeksi dan kontemplasi. Dalam kontek filosofis, tiga pantangan tersebut mempunyai fungsi pengendalian diri, sebuah prinsip dasar dari kehidupan sosial untuk menjaga ketertiban. Dengan tiga pantangan itu, dinamika sosial akan berhenti dan secara otomatis yang muncul adalah sebuah dorongan berpikir. Kesadaran akan pengendalian diri pada hari raya Nyepi dengan sendirinya memunculkan kontemplasi, perenungan tentang segala dinamika diri dan sosial pada satu tahun terakhir. Memunculkan kesadaran akan kekeliruan dan keberhasilan untuk selanjutnya memilih strategi memperbaiki kehidupan di masa mendatang.

            Sekitar seminggu sebelum nyepi, jutaan masyarakat Hindu Bali hampir pasti ikut arak-arakan ke pantai untuk melaksanakan apa yang disebut melasti. Ritual ini adalah pembersihan peralatan dan sarana persembayangan masyarakat Hindu Bali, baik dalam kepemilikan individual maupun kelompok. Sehari menjelang Nyepi, masyarakat Hindu Bali menggelar ritual pengrupukan. Jutaan masyarakat Hindu Bali melakukan pecaruan, baik di lingkungan rumah tinggal masing-masing maupun di tingkat desa, kota, bahkan provinsi. Pengrupukan sesungguhnya adalah ritual untuk membersihkan dan menstabilkan lingkungan. Caru mempunyai makna bersih. Setiap anggota masyarakat yang melaksanakan persembahyangan akan memercikan air suci ke dalam dirinya atau melakukan prascita, sebagai symbol pembersihan diri. Nyepi memberikan suasana yang paling memungkinkan bagi manusia untuk introspeksi dan menjadi sumber daya penyadaran. Sumber daya dan penyadaran itulah yang dipakai modal untuk menjalani hidup pada tahun baru Saka berikutnya.

            Salah satu perayaan Nyepi yang ditunggu oleh para wisatawan di Bali adalah arak-arakan ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh adalah justifikasi psikologis sosial yang dikaitkan dengan religiusitas. Dalam hal ini, Hindu Bali. Penampilan dan kemudian pembakarannya menimbulkan semacam kepercayaan diri pada manusia bahwa kejahatan sudah dapat dikalahkan sehingga memunculkan atau menebalkan keyakinan tentang kebersihan lingkungan dan kebersihan diri. Ogoh-ogoh adalah wujud olok-olok kepada kekuatan jahat oleh manusia. Dengan membentuk kekuatan jahat itu sebagai ogoh-ogoh, masyarakat memperoloknya berbentuk abnormal, badan gemuk, dada bongsor, dan wajah berantakan serta berjalan tergopoh-gopoh (ogoh-ogoh). Topeng ini kemudian dibakar sebagai symbol kehancurannya dan keberhasilan manusia terbebas dari pengaruh jahat, baik dalam diri maupun lingkungan.

            Namun ogoh-ogoh sesungguhnya hanya simbolis belaka, sebuah hasik kesepakatan sosial. Jadi sesungguhnya tidak harus berwujud besar, bahkan tidak harus dibuat. Pada hari pengrupukan, cukup banyak symbol yang menandakan hilangnya kejahatan, misalnya ritual menyapu lingkungan dan memukul-mukul tanah. Fenomena ogoh-ogoh itu baru muncul pada pertengahan decade 1980-an, sebagai respons atas kecelakaan yang terjadi akibat penggunaan Meriam bambu pada waktu itu. Jadi, jauh setelah munculnya pawai obor dan pawai keuntungan (yang berbaris rapi, murah, tertib, dan menimbulkan suara indah tanpa bentrokan). Bisnis atau politik pariwisata kiranya kemudian yang menarik ritual ogoh-ogoh yang mahal ini menjadi massal dan digandrungi anak-anak sampai remaja, yang bersedia menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk membuat satu ogoh-ogoh saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar