Pemerintahan Orde
Baru
Pemerintahan Orde Baru lahir akibat krisis yang
ditimbulkan kasus pembunuhan Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani beserta
lima deputinya oleh Gerakan 30 September 1965, pimpinan Letkol Untung Syamsuri.
Ia adalah salah satu komandan battalion pasukan Cakrabirawa dari unsur Angkata
Darat. Cakrabirawa berkekuatan satu resimen yang berasal dari empat unsur dalam
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yaitu Angkatan Darat, Angkatan Udara,
Angkatan Laut, dan Angkatan Kepolisian. Komandan tertingginya adalah Brigjen
Muhammad Sabur dari TNI Angkatan Darat. Resimen Cakrabirawa dibentuk pada
tanggal 14 Mei 1962.
Pihak Angkatan Darat di bawah pimpinan Panglima
Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayjen Soeharto melancarkan
serangan balik dan berhasil menghancurkan kekuatan militer Gerakan 30
September. Soeharto menilai Gerakan 30 September sebagai kudeta terhadap
Presiden Soekarno dengan terlebih dahulu menyingkirkan para pimpinan Angkatan
Darat. Menurutnya dalang dibalik ini semua adalah PKI (Partai Komunis
Indonesia), karena Untung termasuk pengikut komunisme dalam organisasi Angkatan
Darat.
Berdasarkan analisis tersebut Soeharto langsung
membubarkan PKI beserta ormas-ormas afiliasinya pada 12 Maret 1966 setelah
menerima surat perintah dari Presiden Soekarno untuk mengembalikan keamanan ibu
kota dan menjaga keselamatan presiden. Surat perintah ini dikenal sebagai
Supersemar yang merupakan singkatan dari Surat Perintah Sebelas Maret.
Keyakinan politik Soeharto bahwa PKI dalang kudeta
Gerakan 30 September dan tindakannya dalam menumpas Gerakan 30 September serta
membubarkan PKI mendapat dukungan dari seluruh kekuatan nonkomunis. Mereka lalu
membentuk berbagai kesatuan aksi, seperti KAP Gestapu, KAMI, KAPI, KAPPI, dan
KASI. Seluruh kesatuan aksi berdemonstrasi menuntut agar Presiden Soekarno
membubarkan PKI serta ormas-ormasnya. Namun tuntutan ini ditolak. Akibatnya
popularitas Soekarno menurun. Rakyat kemudian berpaling kepada Soeharto karena
mempunyai keberanian berbeda pendapat secara terbuka dengan Presiden Soekarno
sejak 1 Oktober 1965. Popularitas Soeharto meningkat setelah membubarkan PKI
pada tanggal 12 Maret 1966.
Sejak 1 Oktober 1966, terjadi dualism kepemimpinan
nasional antara Soekarno dan Soeharto. Hal ini sangat membahayakan kesatuan dan
persatuan bangsa karena dapat menimbulkan perang saudara. Untuk mencegahnya,
pada tanggal 12 Maret 1967, para wakil rakyat di Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) mengeluarkan Surat Ketetapan MPRS No XXXIII/MPRS/1967, yakni
mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden dan menonaktifkan Soekarno dari
jabatan presiden. Satu tahun kemudian MPRS menyelenggarakan sidang istimewa.
Salah satu keputusan terpenting siding istimewa adalah memberhentikan Soekarno.
Sejak saat itu, Soeharto resmi menjadi presiden dengan tugas utamanya
menyelenggarakan Pemilihan Umum secepatnya. Keputusan penting yang mengakhiri
dualisme kepemimpinan ini tertuang dalam TAP MPRS No.XLIV/PMPRS/1968.
Pemilu pertama setelah Gerakan 30 September dilakukan
pada tahun 1971. Pemenangnya adalah Golongan Karya, yang dibentuk pada 20
Oktober 1964 dengan nama Sekretaris Bersama (Sekber) Golkar, beranggotakan 291
organisasi. Jumlah anggotanya berkurang pada tahun 1968 menjadi 201 organisasi
setelah seluruh organisasi Islam dalam Sekber Golkar memisahkan diri karena
bergabung dalam Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden No. 70 bertanggal 20 Februari 1968.
Pemerintah Orde Baru menganut system perwakilan
sehingga pemilu tidak memilih presiden dan wakil presiden, tetapi hanya memilih
para wakil rakyat di DPR dan MPR. Para wakil rakyat itulah yang nantinya
memilih presiden dan wakil presiden. Komposisi wakil rakyat disesuaikan dengan
jumlah suara yang diperoleh setiap organisasi peserta pemilu. Karena Golkar
peraih suara terbanyak dalam pemilu 1971, jumlah wakil rakyatnya mendominasi
DPR dan MPR. Praktis calon presiden dan wakil presiden dukungan Golkar akan
menjadi pemenangnya. MPR kemudian memilih Soeharto dan Sri Sultan Hamengkubuwono
IX sebagai presiden dan wakil presiden. Golkar berhasil mempertahankan diri
sebagai mayoritas tunggal dalam setiap pemilu yang diadakan lima tahun sekali
selama Orde Baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997). Soeharto selalu menjadi
pilihan Golkar untuk menduduki jabatan presiden. Ia diberi kekuasaan penuh
untuk memilih wakil presiden dan para menterinya.
Masa pemerintahan Soeharto disebut dengan pemerintahan
Orde Baru. Sesuai Namanya, Soeharto menghadirkan semangat baru yang berbeda
dengan semangat Demokrasi Terpimpin, yang disebutnya Orde Lama. Pemerintah Orde
Baru sangat antikomunis. Karena itu Orde Baru lebih dekat dengan Blok Barat
daripada blok Timur. Hal ini sangat berbeda dengan kebijakan Orde Lama yang
cenderung bermusuhan dengan Blok Barat. Orde Baru juga melakukan perubahan
orientasi dari pembangunan politik kepada pembangunan ekonomi. Biaya
pembangunan ekonomi diperoleh melalui pinjaman dari negara-negara Blok Barat.
Pemerintah Orde Baru segera menjalin kerjasama bidang
kebudayaan dan Pendidikan dengan negara-negara Blok Barat. Bentuk kerjasama
berupa pemberian beasiswa, pertukaran pelajar, dan pertunjukkan budaya.
Keragaman budaya dan keindahan alam Indonesia menarik perhatian masyarakat
internasional. Bisnis pariwisata pun berkembang pesat. Pulau Bali menjadi pusat
perkembangan pariwisata yang paling sering dikunjungi wisatawan asing.
Pendapatan dari bisnis pariwisata ini menjadi sumber pemasukan utama keuangan
negara. Pemerintah tidak lagi melarang perkembangan kebudayaan barat di Indonesia.
Bahkan, kebudayaan barat menjadi lambing kemajuan. Modernisasi yang terdapat
dalam kebudayaan barat dikelirukan dengan westernisasi (pembaratan). Fenomena
westernisasi inilah yang ditentang para ilmuwan dan kelompok pencinta budaya
leluhur. Apalagi westernisasi menimbulkan pemujaan berlebihan terhadap
kebudayaan barat dan memberikan penilaian yang salah terhadap kebudayaan
leluhur sebagai lambing kemunduran.
Dalam bidang kenegaraan dan pemerintah, pemerintah
Orde Baru banyak meneruskan langkah pemerintah sebelumnya. Sebagai contoh,
bentuk negara republic kesatuan. Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia
atas desakan pemerintah Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949,
pernah membentuk negara federasi Uni Indonesia-Belanda dengan nama Republik
Indonesia Serikat (RIS). Namun RIS Cuma berlangsung kurang dari setahun. Pada
17 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Pemerintah Orde Baru juga menganut system pemerintahan
presidensil sebagaimana dipraktikkan pemerintahan Orde Lama. Berdasarkan sistem
presidensil, Presiden Soeharto menjadi Kepala Negara sekaligus kepala
pemerintahan. Sementara antara tahun 1945-1959, Indonesia menganut sistem
pemerintahan parlementer, sehingga kepala negara dan kepala pemerintahan
dipisahkan. Kepala negara dipimpin presiden dan wakil presiden, sedangkan
kepala pemerintahan disandang perdana Menteri. Sistem pemerintahan yang sesuai
dengan UUD 1945 adalah sistem presidensil.
Buku
-
Sejarah Nasional Indonesia VI, Nugroho Notosusanto (Balai Pustaka)
-
Berjuang dan mengapdi, Maraden Panggabean (Sinar Harapan)
-
Gerakan 30 September: Pemberontaka Partai Komunis
Indonesia, Sekretaris negara
(Sekretaris NRI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar