Minggu, 20 September 2020

PEMERINTAHAN ORDE BARU

 

Pemerintahan Orde Baru

Pemerintahan Orde Baru lahir akibat krisis yang ditimbulkan kasus pembunuhan Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani beserta lima deputinya oleh Gerakan 30 September 1965, pimpinan Letkol Untung Syamsuri. Ia adalah salah satu komandan battalion pasukan Cakrabirawa dari unsur Angkata Darat. Cakrabirawa berkekuatan satu resimen yang berasal dari empat unsur dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yaitu Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Angkatan Kepolisian. Komandan tertingginya adalah Brigjen Muhammad Sabur dari TNI Angkatan Darat. Resimen Cakrabirawa dibentuk pada tanggal 14 Mei 1962.

Pihak Angkatan Darat di bawah pimpinan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayjen Soeharto melancarkan serangan balik dan berhasil menghancurkan kekuatan militer Gerakan 30 September. Soeharto menilai Gerakan 30 September sebagai kudeta terhadap Presiden Soekarno dengan terlebih dahulu menyingkirkan para pimpinan Angkatan Darat. Menurutnya dalang dibalik ini semua adalah PKI (Partai Komunis Indonesia), karena Untung termasuk pengikut komunisme dalam organisasi Angkatan Darat.

Berdasarkan analisis tersebut Soeharto langsung membubarkan PKI beserta ormas-ormas afiliasinya pada 12 Maret 1966 setelah menerima surat perintah dari Presiden Soekarno untuk mengembalikan keamanan ibu kota dan menjaga keselamatan presiden. Surat perintah ini dikenal sebagai Supersemar yang merupakan singkatan dari Surat Perintah Sebelas Maret.

Keyakinan politik Soeharto bahwa PKI dalang kudeta Gerakan 30 September dan tindakannya dalam menumpas Gerakan 30 September serta membubarkan PKI mendapat dukungan dari seluruh kekuatan nonkomunis. Mereka lalu membentuk berbagai kesatuan aksi, seperti KAP Gestapu, KAMI, KAPI, KAPPI, dan KASI. Seluruh kesatuan aksi berdemonstrasi menuntut agar Presiden Soekarno membubarkan PKI serta ormas-ormasnya. Namun tuntutan ini ditolak. Akibatnya popularitas Soekarno menurun. Rakyat kemudian berpaling kepada Soeharto karena mempunyai keberanian berbeda pendapat secara terbuka dengan Presiden Soekarno sejak 1 Oktober 1965. Popularitas Soeharto meningkat setelah membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966.

Sejak 1 Oktober 1966, terjadi dualism kepemimpinan nasional antara Soekarno dan Soeharto. Hal ini sangat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa karena dapat menimbulkan perang saudara. Untuk mencegahnya, pada tanggal 12 Maret 1967, para wakil rakyat di Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan Surat Ketetapan MPRS No XXXIII/MPRS/1967, yakni mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden dan menonaktifkan Soekarno dari jabatan presiden. Satu tahun kemudian MPRS menyelenggarakan sidang istimewa. Salah satu keputusan terpenting siding istimewa adalah memberhentikan Soekarno. Sejak saat itu, Soeharto resmi menjadi presiden dengan tugas utamanya menyelenggarakan Pemilihan Umum secepatnya. Keputusan penting yang mengakhiri dualisme kepemimpinan ini tertuang dalam TAP MPRS No.XLIV/PMPRS/1968.

Pemilu pertama setelah Gerakan 30 September dilakukan pada tahun 1971. Pemenangnya adalah Golongan Karya, yang dibentuk pada 20 Oktober 1964 dengan nama Sekretaris Bersama (Sekber) Golkar, beranggotakan 291 organisasi. Jumlah anggotanya berkurang pada tahun 1968 menjadi 201 organisasi setelah seluruh organisasi Islam dalam Sekber Golkar memisahkan diri karena bergabung dalam Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 70 bertanggal 20 Februari 1968.

Pemerintah Orde Baru menganut system perwakilan sehingga pemilu tidak memilih presiden dan wakil presiden, tetapi hanya memilih para wakil rakyat di DPR dan MPR. Para wakil rakyat itulah yang nantinya memilih presiden dan wakil presiden. Komposisi wakil rakyat disesuaikan dengan jumlah suara yang diperoleh setiap organisasi peserta pemilu. Karena Golkar peraih suara terbanyak dalam pemilu 1971, jumlah wakil rakyatnya mendominasi DPR dan MPR. Praktis calon presiden dan wakil presiden dukungan Golkar akan menjadi pemenangnya. MPR kemudian memilih Soeharto dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai presiden dan wakil presiden. Golkar berhasil mempertahankan diri sebagai mayoritas tunggal dalam setiap pemilu yang diadakan lima tahun sekali selama Orde Baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997). Soeharto selalu menjadi pilihan Golkar untuk menduduki jabatan presiden. Ia diberi kekuasaan penuh untuk memilih wakil presiden dan para menterinya.

Masa pemerintahan Soeharto disebut dengan pemerintahan Orde Baru. Sesuai Namanya, Soeharto menghadirkan semangat baru yang berbeda dengan semangat Demokrasi Terpimpin, yang disebutnya Orde Lama. Pemerintah Orde Baru sangat antikomunis. Karena itu Orde Baru lebih dekat dengan Blok Barat daripada blok Timur. Hal ini sangat berbeda dengan kebijakan Orde Lama yang cenderung bermusuhan dengan Blok Barat. Orde Baru juga melakukan perubahan orientasi dari pembangunan politik kepada pembangunan ekonomi. Biaya pembangunan ekonomi diperoleh melalui pinjaman dari negara-negara Blok Barat.

Pemerintah Orde Baru segera menjalin kerjasama bidang kebudayaan dan Pendidikan dengan negara-negara Blok Barat. Bentuk kerjasama berupa pemberian beasiswa, pertukaran pelajar, dan pertunjukkan budaya. Keragaman budaya dan keindahan alam Indonesia menarik perhatian masyarakat internasional. Bisnis pariwisata pun berkembang pesat. Pulau Bali menjadi pusat perkembangan pariwisata yang paling sering dikunjungi wisatawan asing. Pendapatan dari bisnis pariwisata ini menjadi sumber pemasukan utama keuangan negara. Pemerintah tidak lagi melarang perkembangan kebudayaan barat di Indonesia. Bahkan, kebudayaan barat menjadi lambing kemajuan. Modernisasi yang terdapat dalam kebudayaan barat dikelirukan dengan westernisasi (pembaratan). Fenomena westernisasi inilah yang ditentang para ilmuwan dan kelompok pencinta budaya leluhur. Apalagi westernisasi menimbulkan pemujaan berlebihan terhadap kebudayaan barat dan memberikan penilaian yang salah terhadap kebudayaan leluhur sebagai lambing kemunduran.

Dalam bidang kenegaraan dan pemerintah, pemerintah Orde Baru banyak meneruskan langkah pemerintah sebelumnya. Sebagai contoh, bentuk negara republic kesatuan. Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia atas desakan pemerintah Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, pernah membentuk negara federasi Uni Indonesia-Belanda dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun RIS Cuma berlangsung kurang dari setahun. Pada 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintah Orde Baru juga menganut system pemerintahan presidensil sebagaimana dipraktikkan pemerintahan Orde Lama. Berdasarkan sistem presidensil, Presiden Soeharto menjadi Kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan. Sementara antara tahun 1945-1959, Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer, sehingga kepala negara dan kepala pemerintahan dipisahkan. Kepala negara dipimpin presiden dan wakil presiden, sedangkan kepala pemerintahan disandang perdana Menteri. Sistem pemerintahan yang sesuai dengan UUD 1945 adalah sistem presidensil.

 

Buku

-          Sejarah Nasional Indonesia VI, Nugroho Notosusanto (Balai Pustaka)

-          Berjuang dan mengapdi, Maraden Panggabean (Sinar Harapan)

-          Gerakan 30 September: Pemberontaka Partai Komunis Indonesia, Sekretaris negara (Sekretaris NRI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar