Minggu, 20 September 2020

PEMERINTAHAN ORDE BARU

 

Pemerintahan Orde Baru

Pemerintahan Orde Baru lahir akibat krisis yang ditimbulkan kasus pembunuhan Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani beserta lima deputinya oleh Gerakan 30 September 1965, pimpinan Letkol Untung Syamsuri. Ia adalah salah satu komandan battalion pasukan Cakrabirawa dari unsur Angkata Darat. Cakrabirawa berkekuatan satu resimen yang berasal dari empat unsur dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yaitu Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Angkatan Kepolisian. Komandan tertingginya adalah Brigjen Muhammad Sabur dari TNI Angkatan Darat. Resimen Cakrabirawa dibentuk pada tanggal 14 Mei 1962.

Pihak Angkatan Darat di bawah pimpinan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayjen Soeharto melancarkan serangan balik dan berhasil menghancurkan kekuatan militer Gerakan 30 September. Soeharto menilai Gerakan 30 September sebagai kudeta terhadap Presiden Soekarno dengan terlebih dahulu menyingkirkan para pimpinan Angkatan Darat. Menurutnya dalang dibalik ini semua adalah PKI (Partai Komunis Indonesia), karena Untung termasuk pengikut komunisme dalam organisasi Angkatan Darat.

Berdasarkan analisis tersebut Soeharto langsung membubarkan PKI beserta ormas-ormas afiliasinya pada 12 Maret 1966 setelah menerima surat perintah dari Presiden Soekarno untuk mengembalikan keamanan ibu kota dan menjaga keselamatan presiden. Surat perintah ini dikenal sebagai Supersemar yang merupakan singkatan dari Surat Perintah Sebelas Maret.

Keyakinan politik Soeharto bahwa PKI dalang kudeta Gerakan 30 September dan tindakannya dalam menumpas Gerakan 30 September serta membubarkan PKI mendapat dukungan dari seluruh kekuatan nonkomunis. Mereka lalu membentuk berbagai kesatuan aksi, seperti KAP Gestapu, KAMI, KAPI, KAPPI, dan KASI. Seluruh kesatuan aksi berdemonstrasi menuntut agar Presiden Soekarno membubarkan PKI serta ormas-ormasnya. Namun tuntutan ini ditolak. Akibatnya popularitas Soekarno menurun. Rakyat kemudian berpaling kepada Soeharto karena mempunyai keberanian berbeda pendapat secara terbuka dengan Presiden Soekarno sejak 1 Oktober 1965. Popularitas Soeharto meningkat setelah membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966.

Sejak 1 Oktober 1966, terjadi dualism kepemimpinan nasional antara Soekarno dan Soeharto. Hal ini sangat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa karena dapat menimbulkan perang saudara. Untuk mencegahnya, pada tanggal 12 Maret 1967, para wakil rakyat di Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan Surat Ketetapan MPRS No XXXIII/MPRS/1967, yakni mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden dan menonaktifkan Soekarno dari jabatan presiden. Satu tahun kemudian MPRS menyelenggarakan sidang istimewa. Salah satu keputusan terpenting siding istimewa adalah memberhentikan Soekarno. Sejak saat itu, Soeharto resmi menjadi presiden dengan tugas utamanya menyelenggarakan Pemilihan Umum secepatnya. Keputusan penting yang mengakhiri dualisme kepemimpinan ini tertuang dalam TAP MPRS No.XLIV/PMPRS/1968.

Pemilu pertama setelah Gerakan 30 September dilakukan pada tahun 1971. Pemenangnya adalah Golongan Karya, yang dibentuk pada 20 Oktober 1964 dengan nama Sekretaris Bersama (Sekber) Golkar, beranggotakan 291 organisasi. Jumlah anggotanya berkurang pada tahun 1968 menjadi 201 organisasi setelah seluruh organisasi Islam dalam Sekber Golkar memisahkan diri karena bergabung dalam Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 70 bertanggal 20 Februari 1968.

Pemerintah Orde Baru menganut system perwakilan sehingga pemilu tidak memilih presiden dan wakil presiden, tetapi hanya memilih para wakil rakyat di DPR dan MPR. Para wakil rakyat itulah yang nantinya memilih presiden dan wakil presiden. Komposisi wakil rakyat disesuaikan dengan jumlah suara yang diperoleh setiap organisasi peserta pemilu. Karena Golkar peraih suara terbanyak dalam pemilu 1971, jumlah wakil rakyatnya mendominasi DPR dan MPR. Praktis calon presiden dan wakil presiden dukungan Golkar akan menjadi pemenangnya. MPR kemudian memilih Soeharto dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai presiden dan wakil presiden. Golkar berhasil mempertahankan diri sebagai mayoritas tunggal dalam setiap pemilu yang diadakan lima tahun sekali selama Orde Baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997). Soeharto selalu menjadi pilihan Golkar untuk menduduki jabatan presiden. Ia diberi kekuasaan penuh untuk memilih wakil presiden dan para menterinya.

Masa pemerintahan Soeharto disebut dengan pemerintahan Orde Baru. Sesuai Namanya, Soeharto menghadirkan semangat baru yang berbeda dengan semangat Demokrasi Terpimpin, yang disebutnya Orde Lama. Pemerintah Orde Baru sangat antikomunis. Karena itu Orde Baru lebih dekat dengan Blok Barat daripada blok Timur. Hal ini sangat berbeda dengan kebijakan Orde Lama yang cenderung bermusuhan dengan Blok Barat. Orde Baru juga melakukan perubahan orientasi dari pembangunan politik kepada pembangunan ekonomi. Biaya pembangunan ekonomi diperoleh melalui pinjaman dari negara-negara Blok Barat.

Pemerintah Orde Baru segera menjalin kerjasama bidang kebudayaan dan Pendidikan dengan negara-negara Blok Barat. Bentuk kerjasama berupa pemberian beasiswa, pertukaran pelajar, dan pertunjukkan budaya. Keragaman budaya dan keindahan alam Indonesia menarik perhatian masyarakat internasional. Bisnis pariwisata pun berkembang pesat. Pulau Bali menjadi pusat perkembangan pariwisata yang paling sering dikunjungi wisatawan asing. Pendapatan dari bisnis pariwisata ini menjadi sumber pemasukan utama keuangan negara. Pemerintah tidak lagi melarang perkembangan kebudayaan barat di Indonesia. Bahkan, kebudayaan barat menjadi lambing kemajuan. Modernisasi yang terdapat dalam kebudayaan barat dikelirukan dengan westernisasi (pembaratan). Fenomena westernisasi inilah yang ditentang para ilmuwan dan kelompok pencinta budaya leluhur. Apalagi westernisasi menimbulkan pemujaan berlebihan terhadap kebudayaan barat dan memberikan penilaian yang salah terhadap kebudayaan leluhur sebagai lambing kemunduran.

Dalam bidang kenegaraan dan pemerintah, pemerintah Orde Baru banyak meneruskan langkah pemerintah sebelumnya. Sebagai contoh, bentuk negara republic kesatuan. Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia atas desakan pemerintah Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, pernah membentuk negara federasi Uni Indonesia-Belanda dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun RIS Cuma berlangsung kurang dari setahun. Pada 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintah Orde Baru juga menganut system pemerintahan presidensil sebagaimana dipraktikkan pemerintahan Orde Lama. Berdasarkan sistem presidensil, Presiden Soeharto menjadi Kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan. Sementara antara tahun 1945-1959, Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer, sehingga kepala negara dan kepala pemerintahan dipisahkan. Kepala negara dipimpin presiden dan wakil presiden, sedangkan kepala pemerintahan disandang perdana Menteri. Sistem pemerintahan yang sesuai dengan UUD 1945 adalah sistem presidensil.

 

Buku

-          Sejarah Nasional Indonesia VI, Nugroho Notosusanto (Balai Pustaka)

-          Berjuang dan mengapdi, Maraden Panggabean (Sinar Harapan)

-          Gerakan 30 September: Pemberontaka Partai Komunis Indonesia, Sekretaris negara (Sekretaris NRI)

Rabu, 08 April 2020

Dialog Soekarno – Soeharto Pasca Kudeta G-30-S


Dialog Soekarno – Soeharto Pasca Kudeta G-30-S

Dengan kegagalan kudeta Gerakan 30 September 1965 (G30S), situasi politik Indonesia berubah drastis. Kondisi inilah yang mendorong Presiden Soekarno mengadakan sidang kabinet di Istana Bogor pada 6 Oktober 1965. Dengan kondisi politik saat itu, sidang tersebut bersifat krusial, terutama jika dilihat dari kehadiran sejumlah pejabat bukan menteri, seperti pejabat YNI dan Polri. Adanya sidang tersebut memperlihatkan bahwa presiden ingin menciptakan citra dihadapan masyarakat bahwa ia masih mampu mengendalikan kekuatan poolitik dan Angkatan Bersenjata. Melalui pidatonya, presiden berusaha meyakinkan peserta sidang bahwa revolusi lebih agung dibandingkan dengan kudeta berdarah dalam peristiwa G-30-S. pil, yang mengakibatkan kematian beberapa jenderal pimpinan Angkatan Darat. Terbunuhnya para jenderal tersebut dianggap presiden sebagai riak kecil dalam samudra revolusi Indonesia.
Isi pidato presiden Soekarno dalam sidang tersebut membuat jajaran perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) sangat tersinggung. Peristiwa pembunuhan panglima dan para perwira tinggi Angkatan Darat yang dianggap tidak ada artinya mengubah sikap Angkatan Darat terhadap Soekarno. Mereka mulai bersikap kritis dan waspada terhadap kecerendungan sikap politik Soekarno. Melalui media masa, Angkatan Darat mulai membangun opini publik baru yang anti PKI dan waspada terhadap kebijakan Presiden. Dalam tempo yang singkat, Angkatan Darat berhasil membangun opini publik baru yang meragukan kehebatan ajaran dan praktik revolusi model Soekarno. Ajaran revolusinya tidak patut dipercaya lagi dan masyarakat harus kembali ke ajaran Pancasila. Hal ini terutama sejak kebijakannya mengangkat Mayor Jenderal Pranoto sebagai panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) ditolak oleh Mayor Jenderal Soeharto. Soeharto menolak karena pengangkatan Pranoto dalam staf Umum Angkatan Darat pada 1962 sebagai Asisten III/Personel bukan merupakan pilihan Jenderal Ahmad Yani, melainkan personel yang dipilih oleh istana (Presiden Soekarno) yang disodorkan kepada Ahmad Yani. Ahmad Yani yang taat kepada Panglima Tertinggi, menerima pilihan tersebut. Akan tetapi di kalangan Angkatan Darat timbul kecurigaan. Pilihan Soekarno dicurigai sebagai permainan PKI. Oleh karena itu sesudah Pranoto diangkat, ia mengangkat dua orang Perwira Pembantu Asisten Personel, yaitu kolonel Swasono dan Kolonel Mustofa Soedirjo yang dikenal pro PKI. Sebaliknya, pengangkatan Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Operasi Keamanan dan ketertiban yang disampaikan secara lisan, setelah Soeharto berhasil menggagalkan kudeta G-30-S, merupakan petunjuk kuat bahwa Soekarno telah kehilangan kekuasaannya.
Sejak kematian Ahmad Yani dan para perwira tinggi staf Angkatan Darat, solidaritas korps di lingkungan TNI AD semakin menguat. Hal itulah yang tidak diperhitungkan oleh Soekarno dan PKI. Mereka sadar bahwa bahwa Angkatan Darat akan dipecah belah, antara kelompok yang pro dengan Soekarno dan kekuatan yang anti Soekarno. Kewaspadaan dan kecurigaan terhadap setiap langkah politik Soekarno semakin kuat. TNI AD kemudian membentuk tim-tim kerja yang berskala luas, seperti tim politik dan tim ekonomi yang disebut sebagai “kabinet bayangan” yang dipimpin oleh Brigjen Daryatmo dengan anggota Brigjen Soetjipto, kolonel Sudharmono, Kolonel Soenarso, dan sejumlah perwira muda lainnya. Tugas tim memberikan bantuan telaahan kepada Jenderal Soeharto. Tim juga bertugas merencanakan operasi-operasi politik. Dalam rangka penyelesaian politik akibat peristiwa G-30-S, Presiden membentuk Komisi Pencari Fakta yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri Mayor Jenderal Dr. Soemarno Sosroatmojo. Komisi ini bertugas mencari fakta di daerah mengenai jumlah korban yang terbunuh akibat peristiwa G-30-S.
Akan tetapi komisi ini dimanfaatkan oleh kedua belah pihak, baik Soekarno maupun Soeharto. Oei Tjoe Tat, salah seorang menteri yang diperbantukan pada presidium kabinet, secara diam-diam mendapat tugas khusus dari Presiden Soekarno untuk tidak hanya mencari tahu jumlah korban, tetapi juga mengukur sejauh mana kesetiaan para pejabat kepada Presiden. Komisi ini juga dimanfaatkan oleh Angkatan Darat, melalui Kolonel Soenarso, ketua G-V/koti yang menjadi salah seorang “otak politik Angkatan Darat”.
TNI AD melakukan ofensif politik terencana dan terorganisasi dengan sasaran yang telah ditetapkan. Staf penerangan baik ditingkat koti (Komando Operasi Tertinggi), Staf Angkatan Bersenjata, Staf Angkatan Darat dan Angkatan lain (kecuali Angkatan Udara), diproyeksikan akan mengadakan kampanye penyerangan melalui surat kabar Angkatan Bersendjata beserta edisi Daerah Komando Militer dan surat kabar Berita Yudha yang dikoordinasikan oleh Satuan Tugas Penerangan yang dipimpin oleh Brigjen Ibnu Subroto. Jenderal A.H. Nasution selaku Menko Hankam/KASAB, juga melakukan perjalanan panjnang menghadiri berbagai ceramah dan seminar untuk menjelaskan masalah kudeta G-30-S yang didalangi oleh PKI.
            TNI AD demikian gencar melakukan kampanye penerangan karena selain untuk mengubah atau membalikkan opini publik juga untuk melunturkan kekuasaan dan pengaruh Soekarno yang telah lama di kultus individukan oleh masyarakat sehingga meruntuhkan moril pendukung Soekarno. Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Dr. Syarif Thayeb, pada 25 Oktober 1965mendorong lahirnya kesatuan-kesatuan aksi mahasiswa dan pelajar untuk melawan G-30-S dan menuntut pembubaran PKI. Menurut Syarif Thayeb, kesadaran dan kemurnian perjuangan mahasiswa perlu diberikan penyaluran dalam wadah organisasi. Kemudian lahirlah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang terdiri atas organisasi mahasiswa ekstra universitas, antara lain Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Mahasiswa Pancasila (Manpantjas), dan Solidaritas Mahasiswa Sosialis (Somal). Aksi-aksi mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dipimpin oleh Cosmas Batubara, Zamroni, David Napitupulu, Elyas, dan Mar’ie Muhammad. Tema aksi mereka disebut Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) berhasil melemahkan kewibawaan pemerintahan Soekarno, meskipun aksi-aksi tersebut berlangsung hanya 60 hari.
            Pembentukan organisasi KAMI adalah suatu konsolidasi kekuatan dari semua organisasi mahasiswa penentang G-30-S dan pembangkangan terhadap komando Presiden pada 21 Oktober 1965. Komando itu berisi antara lain:
1.      Bina kesatuan dan persatuan seluruh kekuatan progresif revolusioner atas dasar Panca Azimat Revolusi.
2.      Menyingkirkan tindakan destruktif, seperti rasialisme dan pembakaran-pembakaran.
3.      Menyingkirkan fitnah atas dasar balas dendam.
4.      Melarang demonstrasi yang tidak mendapat izin dari yang berwajib.
5.      Meningkatkan terus aksi-aksi massa yang revolusioner secara konstruktif dalam menghadapi Nekolim dari siasat subversif.
Komando Presiden Soekarno hanya tinggal gemanya. Organisasi-organisasi mahasiswa tidak pernah menggubris dan terus menerus melakukan demonstrasi serta aksi corat-coret. Aksi-aksi mahasiswa itu menggetarkan moril Soekarno. Ia gelisah karena caci maki para mahasiswa telah melebihi batas. Salah seorang pengikut Soekarno yang setia, B.M. Dia, menilai kesalahan Soekarno terletak karena ia tidak memiliki partai. Massa yang digerakkannya bukan massanya sendiri, namun massa milik orang lain. pada waktu berhadapan dengan Soekarno, massa itu terlepas untuk sementara dari induknya, yaitu partai-partai penggeraknya. Akan tetapi setelah itu, massa kembali ke induknya masing-masing karena mereka terikat secara ideologis dan disiplin partai. Soekarno ditinggal sendirian, sehingga secara pelan-pelan tapi pasti Soekarno akan tenggelam.
Lawan Soekarno yang terberat adalah Angkatan Darat yang sedang dilanda kemarahan luar biasa. Soekarno salah memilih orang yang ditunjuknya sebagai pimpinan pengganti Jenderal Ahmad Yani. Jenderal Pranoto adalah orang yang lemah. Karena itu ketika ditunjuk Presiden Soekarno sebagai Men/Pangad, Jenderal Pranoto tidak segera bertindak menguasai Markas Besar untuk menegakkan kepemimpinannya. Kelemahan lainnya, ketika Pranoto dihadapkan dengan Soeharto, ia turun moril karena Pranoto pernah menjadi bawahan Soeharto sejak awal revolusi. Soekarno atau bahkan penasihatnya pun tidak memahami kondisi Angkatan Darat. Senioritas dan suasana psikologis diabaikan, ia hanya mendasarkan atas kalkulasi politik saja. Kesalahan ini berakibat fatal, Jenderal Soeharto tidak akan pernah mengakui kepemimpinan Pranoto. Soeharto mengetahui tingkah laku politik Pranoto yang cenderung berpihak kepada PKI. Kematian Ahmad Yani, seorang panglima yang anti komunis, dan digantikan oleh Pranoto, seorang yang pro komunis, tidak dapat diterima oleh Soeharto. Selain itu, ada faktor nonpolitik dan ideologis bahwa antara Pranoto dan Soeharto mempunyai konflik pribadi. Kondisi itulah yang memaksa Soekarno untuk tunduk kepada kenyataan bahwa Soeharto memang lebih unggul darpada Pranoto dalam segala bidang, meski Soekarno juga masih memendam rasa tidak senang yang mendalam terhadap Soeharto sejak peristiwa 3 Juli 1946. Di samping itu, TNI AD menganggap bahwa sasaran pokok G-30-S adalah merebut posisi pimpinan Angkatan Darat yang anti PKI. Pada gilirannya Soekarno berhadapan sendiri dengan Soeharto, terutama dalam sidang-sidang Koti, suatu lembaga negara dalam keadaan darurat yang dipimpin langsung oleh Presiden selaku Panglima Tertinggi. Dalam sidang itu, perdebatan terjadi antara Soekarno dan Soeharto mengenai masalah keamanan negara, yang oleh Soeharto disebut “dialog”. Di dalam dialog itu terjadi perbedaan pendapat yang mendasar, yaitu cara mengatasi krisis nasional dan krisis kepercayaan nasional yang meliputi masalah:
1.      Konfrontasi dengan Malaysia
2.      Keamanan dan ketertiban
3.      Nasakom dan Pancasila
4.      Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa
Presiden Soekarno melihat bahwa masalah G-30-S adalah masalah politik yang harus diselesaikan secara politik juga. Penyelesaian politik memerlukan keamanan dan ketertiban lebih dulu. Jenderal Soeharto berpendapat bahwa penyelesaian politik dan keamanan harus diselesaikan secara simultan, yaitu dengan membubarkan PKI sebagai dalang G-30-S. Presiden Soekarno berpendapat bahwa kalau PKI dibubarkan, anggota dan kader mereka akan melakukan gerilya politik dan membuat berbagai kekacauan dalam masyarakat. Mengenai Nasakom, Soekarno menyatakan bahwa ia telah mencanangkannya ke seluruh dunia dan menjadikannya sebagai modal persatuan nasional antara ideologi nasionalisme, komunisme, dan agama-agama yang berbeda dibawah payung Pancasila. Nasakom telah diterima di negara-negara New Emerging Forces (Nefo). Oleh karena itu Presiden Soekarno menolak membubarkan PKI karena merupakan organisasi yang berazas komunisme dan salah satu unsur Nasakom.
Dialog Soekarno dan Soeharto berlangsung sangat keras. Seoharto mengakui bahwa ia pernah dikonfrontasi dengan panglima-panglima angkatan lain, seperti Jenderal Polisi Soetjipto Joedodihardjo, Laksamana Moeljadi, dan Laksamana Sri Mulyono Herlambang. Soekarno mengenal Soeharto, yang dianggapnya sebagai seorang yang “keras kepala” (koppig), sangat teguh pendirian, dan sulit menerima pendapat orang lain. demikian pula Soekarno tidak berbeda dengan Soeharto, berkarakter koppig. Sampai akhirnya Soekarno menggunakan kekuasaannyan karena tidak berhasil “menaklukkan” pendirian Soeharto. Soekarno mengatakan, “kamu seorang prajurit, kerjakan apa yang saya perintahkan. Mengenai perjuangan serahkan kepada saya.”
Akan tetapi Soeharto tetap pada pendiriannya. Ia menilai PKI telah melakukan tindakan kudeta, karena itu harus ditindak. Jika tidak ditindak berarti memberi kesempatan, dan PKI akan mengulangi perbuatannya. Intinya Soeharto menginginkan PKI untuk dibubarkan. Untuk mengurangi ketakutan (Soekarno) terhadap gerilya politik PKI, Soeharto mengusulkan agar pembangunan di desa-desa diintensifkan, karena kemiskinan di desa-desa merupakan pupuk penyubur bagi perkembangan pengaruh komunisme. Pembangunan dilakukan dengan cara menghimpun dana, mengadakan yayasan-yayasan setempat, serta membeli traktor dan bibit ternak yang kemudian diserahkan kepada rakyat. Bagi Soekarno, cara mengatasi keadaan rakyat mudah dilakukan, asal Soeharto menjalankan perintahnya. Perintah Soekarno adalah memadamkan gerakan mahasiswa dan rakyat yang menentang kebijakannya. Soeharto menolak saran Soekarno dan menyatakan bahwa gerakan mahasiswa serta rakyat tidak semata-mata menentang Soekarno, justru mereka mendukung dan mengamankan Soekarno untuk menyelamatkan revolusi. Soeharto mengatakan, “Kalau saya disuruh menghancurkan mahasiswa dan rakyat yang menentang PKI, sebetulnya sama halnya saya menghancurkan kekuatan yang harus mengamankan Pancasila.”
Oleh karena Soekarno menilai bahwa gerakan rakyat didalangi oleh imperialis Amerika, maka Soeharto dengan tegas menolak sinyalemen Soekarno. Menurut Soeharto, yang benar adalah bahwa rakyat telah menyadari bahaya komunisme. Dengan bukti bahwa keterlibatan PKI sebagai dalang G-30-S tidak dapat dibantah.
Presiden Soekarno tidak begitu saja menyerah. Ia melakukan gerakan baru untuk mempertahankan kekuasaannya dengan dibantu oleh pendukung, baik kelompok maupun perorangan, yang bersimpati kepadanya. Mereka berusaha untuk memindahkan Soekrano dari Jakarta ke suatu tempat di Jawa Timur.
Mengenai masalah pengehentian konfrontasi dengan Malaysia, Soekarno telah mengetahui bahwa sejak April 1965 ABRI berusaha untuk mengakhiri konfrontasi melalui operasi intelijen. Upaya lain Soekarno untuk meredam demonstrasi adalah mencoba mendekati mahasiswa. Pada 21 Desember 1965 Presiden Soekarno mengundang pimpinan HMI untuk mendengarkan ceramahnya di Istana. Presiden menganjurkan kepada HMI agar mereka tidak hanyut dalam arus kontra revolusi.
Pada awal tahun 1966, Soekarno melakukan offensif balas terhadap Soeharto. Presiden Soekarno gelisah terhadap aksi-aksi mahasiswa yang semakin meningkat. Ia menganggap aksi mereka sebagai usaha pendongkelan terhadap kedudukannya yang disponsori oleh Nekolim. Otoritas tertinggi Soekarno berdasarkan Undang-Undang Keadaan Darurat adalah terhadap Komando Operasi Tertinggi (Koti). Koti yang merupakan pusat pusat kekuasaan Presiden Soekarno berhasil diminimalisasi oleh Soeharto menjadi Komando Ganyang Malaysia (Kogam) yang hanya membawahi Komando Mandala Siaga. Sebaliknya Jenderal Soeharto berhasil memperkuat posisi Kopkamtib. Komando-komando daerah Koti, yaitu Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah (Pepelrada), diambil alih oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang kemudian berganti menjadi Kopkamtibda (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah). Jenderal Soeharto berhasil mematahkan kekuasaan Komando Soekarno yang hanya tinggal membawahi eselon staf kogam.



Daftar pustaka:
·         Pramodya Ananta Toer, “Memoar Oei Tjoe Tat” (Jakarta: Hasta, 1998).
·         M. Panggabean, “Berjuang dan Mengabdi” (Jakarta: Sinar Harapan, 1993).
·         Christianto Wibisono, “Aksi-aksi Tritura Kisah sebuah Partnership 10 januari-11 Maret 1966” (Jakarta: Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, 1970).
·         B.M. Diah, “Meluruskan Sejarah” (Jakarta: PT.Merdeka Press, 1987)