Demam berdarah menjadi sebuah isu penyakit endemic untuk beberapa kawasan di Nusantara. Masyarakat kita terlalu abai dalam menghadapi sumber penyakit DBD ini, yaitu menjaga agar kondisi lingkungan sekitar terhindar dari nyamuk aedes aegypti, sumber penyakit demam berdarah.
beberapa hari yang lalu ada kabar dari seorang teman yang menyebutkan adanya bahaya penyakit DBD akut yang dapat menyerang saraf manusia, yaitu Dengue Shock Syndrome (DSS). Demam berdarah jika tidak ditindaklanjuti dengan cepat dan tepat untuk mengatasinya, atau bahkan membiarkan penyakit ini dengan obat-obatan sederhana mengakibatkan komplikasi Dengue Shock Syndrome yaitu suatu infeksi dengue yang ditandai dengan gangguan sirkulasi.
Proses terjadinya dengue shock syndrome dintandai dengan demam saat terkena DBD yang umumnya terjadi selama 2 sampai 7 hari dan menurun setelahnya. Namun hati-hati, justru komplikasi biasanya terjadi pada fase ini. komplikasi paling banyak terjadi pada hari ke-3 dan ke-4 sejak hari pertama sakit. jika tidak segera ditangani, maka komplikasi ini akan mengakibatkan syock yang berisiko kematian. DSS pada kondisi ini, aliran darah ke seluruh jaringan tubuh akan menurun sehingga terjadi kekurangan oksigen (hipoksia). Hal ini dapat menyebabkan kejang, kerusakan pada hati, jantung, otak, dan paru-paru, penggumpalan darah, hingga kematian. Kejadian yang terjadi dengan salah satu anak murid dari teman saya sendiri merurpakan dampak dari DSS. Dia terlihat seperti orang terkena ayan yang tiba-tiba kejang saat pelajaran. Mungkin beberapa teman yang kurang paham tentang medis beranggapan ini adalah penyakit epiepsi, tapi pada kenyataannya ini adalah dampak lanjut dari DBD yang mengakibatkan dengue shock syndrome yang lebih berbahaya.
Kita yang tinggal di daerah tropis harus benar-benar serius dalam menghadapi bahaya endemic ini, terutama yang menimbulkan dampak kematian. Wabah ini pertama kali terjadi di dunia pada 1780-an, tepatnya di Asia, Afrika, dan Amerika Utara. Pada awal kemunculannya, penyakit ini dinamakan Dengue Fever. Seiring bergulirnya waktu, pada 1950-an penyakit DBD mulai muncul dan menjadi wabah besar di kawasan Asia Tenggara, yakni di Fillipina. Kemudian wabah ini terus mengalami ekspansi geografis ke beberapa negara lainnya, salah satunya Indonesia. Pada 1968, kasus pertama DBD di Indonesia dilaporkan terjadi di Surabaya dan Jakarta. Semakin lama terjadi lonjakan kasus DBD di Indonesia, bahkan untuk Indonesia saat ini belum ada usaha preventif untuk menangani lonjakan kasus DBD yang setiap tahunnya mengalami lonjakan kasus. Kesadaran pribadi tiap masyarakat harus ditanamkan untuk mencegah agar nyamuk pembawa virus demam berdarah tidak berkembang di lingkungan kita. Apalagi di masa setiap peralihan musim kasus DBD terus mengalami kenaikan, baik dari musim hujan ke kemarau atau sebaliknya kemarau ke musim hujan. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha pencegahan sedini mungkin.
Beberapa langkah pencegahan yang dilakukan, di antaranya menerapkan hidup bersih dengan melakukan kebiasaan 3M (Menutup, Menguras, dan Mengubur), memastikan kondisi tubu tetap sehat, dan melakukan vaksin. Langkah pencegahan ini harus selalu dilakukan agar tidak terjadi lonjakan kasus DBD yang semakin besar di Indonesia.
Banyak masyarakat kita yang masih abai dalam mencegah penyebaran DBD. Kurangnya edukasi dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia menjadi faktor lain dalam pencegahan nyamuk aides aygepti. Seperti disebutkan diatas, DBD merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Adapun siklus penyebarannya dimulai dari proses transmisi virus ke tubuh manusia melalui air liur nyamuk. Kemudian virus akan bereplikasi pada bagian organ tubuh tertentu. Selanjutnya, virus menginveksi bagian sel darah putih dan jaringan limfoid. Terakhir, virus akan dilepaskan sehingga mampu bersikulasi dalam darah.
Dengan mengetahui proses penyebarannya dan dampak bahaya yang ditimbulkan, seharusnya masyarakat kita semakin sadar untuk dapat mencegah penyebaran DBD di lingkungan kita.