Dialog Soekarno – Soeharto Pasca Kudeta
G-30-S
Dengan kegagalan kudeta Gerakan 30
September 1965 (G30S), situasi politik Indonesia berubah drastis. Kondisi inilah
yang mendorong Presiden Soekarno mengadakan sidang kabinet di Istana Bogor pada
6 Oktober 1965. Dengan kondisi politik saat itu, sidang tersebut bersifat
krusial, terutama jika dilihat dari kehadiran sejumlah pejabat bukan menteri,
seperti pejabat YNI dan Polri. Adanya sidang tersebut memperlihatkan bahwa
presiden ingin menciptakan citra dihadapan masyarakat bahwa ia masih mampu
mengendalikan kekuatan poolitik dan Angkatan Bersenjata. Melalui pidatonya,
presiden berusaha meyakinkan peserta sidang bahwa revolusi lebih agung
dibandingkan dengan kudeta berdarah dalam peristiwa G-30-S. pil, yang
mengakibatkan kematian beberapa jenderal pimpinan Angkatan Darat. Terbunuhnya para
jenderal tersebut dianggap presiden sebagai riak kecil dalam samudra revolusi
Indonesia.
Isi pidato presiden Soekarno dalam sidang
tersebut membuat jajaran perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Darat (TNI AD) sangat tersinggung. Peristiwa pembunuhan panglima dan para
perwira tinggi Angkatan Darat yang dianggap tidak ada artinya mengubah sikap
Angkatan Darat terhadap Soekarno. Mereka mulai bersikap kritis dan waspada
terhadap kecerendungan sikap politik Soekarno. Melalui media masa, Angkatan
Darat mulai membangun opini publik baru yang anti PKI dan waspada terhadap
kebijakan Presiden. Dalam tempo yang singkat, Angkatan Darat berhasil membangun
opini publik baru yang meragukan kehebatan ajaran dan praktik revolusi model
Soekarno. Ajaran revolusinya tidak patut dipercaya lagi dan masyarakat harus
kembali ke ajaran Pancasila. Hal ini terutama sejak kebijakannya mengangkat
Mayor Jenderal Pranoto sebagai panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) ditolak
oleh Mayor Jenderal Soeharto. Soeharto menolak karena pengangkatan Pranoto
dalam staf Umum Angkatan Darat pada 1962 sebagai Asisten III/Personel bukan
merupakan pilihan Jenderal Ahmad Yani, melainkan personel yang dipilih oleh
istana (Presiden Soekarno) yang disodorkan kepada Ahmad Yani. Ahmad Yani yang
taat kepada Panglima Tertinggi, menerima pilihan tersebut. Akan tetapi di
kalangan Angkatan Darat timbul kecurigaan. Pilihan Soekarno dicurigai sebagai
permainan PKI. Oleh karena itu sesudah Pranoto diangkat, ia mengangkat dua
orang Perwira Pembantu Asisten Personel, yaitu kolonel Swasono dan Kolonel
Mustofa Soedirjo yang dikenal pro PKI. Sebaliknya, pengangkatan Mayor Jenderal
Soeharto sebagai Panglima Operasi Keamanan dan ketertiban yang disampaikan
secara lisan, setelah Soeharto berhasil menggagalkan kudeta G-30-S, merupakan
petunjuk kuat bahwa Soekarno telah kehilangan kekuasaannya.
Sejak kematian Ahmad Yani dan para perwira
tinggi staf Angkatan Darat, solidaritas korps di lingkungan TNI AD semakin
menguat. Hal itulah yang tidak diperhitungkan oleh Soekarno dan PKI. Mereka sadar
bahwa bahwa Angkatan Darat akan dipecah belah, antara kelompok yang pro dengan
Soekarno dan kekuatan yang anti Soekarno. Kewaspadaan dan kecurigaan terhadap
setiap langkah politik Soekarno semakin kuat. TNI AD kemudian membentuk tim-tim
kerja yang berskala luas, seperti tim politik dan tim ekonomi yang disebut
sebagai “kabinet bayangan” yang dipimpin oleh Brigjen Daryatmo dengan anggota
Brigjen Soetjipto, kolonel Sudharmono, Kolonel Soenarso, dan sejumlah perwira
muda lainnya. Tugas tim memberikan bantuan telaahan kepada Jenderal Soeharto. Tim
juga bertugas merencanakan operasi-operasi politik. Dalam rangka penyelesaian
politik akibat peristiwa G-30-S, Presiden membentuk Komisi Pencari Fakta yang
dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri Mayor Jenderal Dr. Soemarno Sosroatmojo. Komisi
ini bertugas mencari fakta di daerah mengenai jumlah korban yang terbunuh
akibat peristiwa G-30-S.
Akan tetapi komisi ini dimanfaatkan oleh
kedua belah pihak, baik Soekarno maupun Soeharto. Oei Tjoe Tat, salah seorang
menteri yang diperbantukan pada presidium kabinet, secara diam-diam mendapat
tugas khusus dari Presiden Soekarno untuk tidak hanya mencari tahu jumlah
korban, tetapi juga mengukur sejauh mana kesetiaan para pejabat kepada
Presiden. Komisi ini juga dimanfaatkan oleh Angkatan Darat, melalui Kolonel
Soenarso, ketua G-V/koti yang menjadi salah seorang “otak politik Angkatan
Darat”.
TNI AD melakukan ofensif politik terencana
dan terorganisasi dengan sasaran yang telah ditetapkan. Staf penerangan baik
ditingkat koti (Komando Operasi Tertinggi), Staf Angkatan Bersenjata, Staf
Angkatan Darat dan Angkatan lain (kecuali Angkatan Udara), diproyeksikan akan
mengadakan kampanye penyerangan melalui surat kabar Angkatan Bersendjata
beserta edisi Daerah Komando Militer dan surat kabar Berita Yudha yang
dikoordinasikan oleh Satuan Tugas Penerangan yang dipimpin oleh Brigjen Ibnu
Subroto. Jenderal A.H. Nasution selaku Menko Hankam/KASAB, juga melakukan
perjalanan panjnang menghadiri berbagai ceramah dan seminar untuk menjelaskan
masalah kudeta G-30-S yang didalangi oleh PKI.
TNI
AD demikian gencar melakukan kampanye penerangan karena selain untuk mengubah
atau membalikkan opini publik juga untuk melunturkan kekuasaan dan pengaruh
Soekarno yang telah lama di kultus individukan oleh masyarakat sehingga
meruntuhkan moril pendukung Soekarno. Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu
Pengetahuan (PTIP) Dr. Syarif Thayeb, pada 25 Oktober 1965mendorong lahirnya
kesatuan-kesatuan aksi mahasiswa dan pelajar untuk melawan G-30-S dan menuntut
pembubaran PKI. Menurut Syarif Thayeb, kesadaran dan kemurnian perjuangan
mahasiswa perlu diberikan penyaluran dalam wadah organisasi. Kemudian lahirlah
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang terdiri atas organisasi mahasiswa
ekstra universitas, antara lain Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Persatuan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Persatuan Mahasiswa Katolik Republik
Indonesia (PMKRI), Mahasiswa Pancasila (Manpantjas), dan Solidaritas Mahasiswa
Sosialis (Somal). Aksi-aksi mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dipimpin oleh
Cosmas Batubara, Zamroni, David Napitupulu, Elyas, dan Mar’ie Muhammad. Tema aksi
mereka disebut Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) berhasil melemahkan kewibawaan
pemerintahan Soekarno, meskipun aksi-aksi tersebut berlangsung hanya 60 hari.
Pembentukan
organisasi KAMI adalah suatu konsolidasi kekuatan dari semua organisasi
mahasiswa penentang G-30-S dan pembangkangan terhadap komando Presiden pada 21
Oktober 1965. Komando itu berisi antara lain:
1. Bina kesatuan dan persatuan seluruh kekuatan progresif revolusioner atas
dasar Panca Azimat Revolusi.
2. Menyingkirkan tindakan destruktif, seperti rasialisme dan pembakaran-pembakaran.
3. Menyingkirkan fitnah atas dasar balas dendam.
4. Melarang demonstrasi yang tidak mendapat izin dari yang berwajib.
5. Meningkatkan terus aksi-aksi massa yang revolusioner secara konstruktif dalam menghadapi Nekolim dari siasat subversif.
2. Menyingkirkan tindakan destruktif, seperti rasialisme dan pembakaran-pembakaran.
3. Menyingkirkan fitnah atas dasar balas dendam.
4. Melarang demonstrasi yang tidak mendapat izin dari yang berwajib.
5. Meningkatkan terus aksi-aksi massa yang revolusioner secara konstruktif dalam menghadapi Nekolim dari siasat subversif.
Komando Presiden Soekarno hanya tinggal gemanya. Organisasi-organisasi
mahasiswa tidak pernah menggubris dan terus menerus melakukan demonstrasi serta
aksi corat-coret. Aksi-aksi mahasiswa itu menggetarkan moril Soekarno. Ia gelisah
karena caci maki para mahasiswa telah melebihi batas. Salah seorang pengikut
Soekarno yang setia, B.M. Dia, menilai kesalahan Soekarno terletak karena ia
tidak memiliki partai. Massa yang digerakkannya bukan massanya sendiri, namun
massa milik orang lain. pada waktu berhadapan dengan Soekarno, massa itu
terlepas untuk sementara dari induknya, yaitu partai-partai penggeraknya. Akan tetapi
setelah itu, massa kembali ke induknya masing-masing karena mereka terikat
secara ideologis dan disiplin partai. Soekarno ditinggal sendirian, sehingga
secara pelan-pelan tapi pasti Soekarno akan tenggelam.
Lawan Soekarno yang terberat adalah Angkatan Darat
yang sedang dilanda kemarahan luar biasa. Soekarno salah memilih orang yang
ditunjuknya sebagai pimpinan pengganti Jenderal Ahmad Yani. Jenderal Pranoto
adalah orang yang lemah. Karena itu ketika ditunjuk Presiden Soekarno sebagai
Men/Pangad, Jenderal Pranoto tidak segera bertindak menguasai Markas Besar
untuk menegakkan kepemimpinannya. Kelemahan lainnya, ketika Pranoto dihadapkan
dengan Soeharto, ia turun moril karena Pranoto pernah menjadi bawahan Soeharto
sejak awal revolusi. Soekarno atau bahkan penasihatnya pun tidak memahami
kondisi Angkatan Darat. Senioritas dan suasana psikologis diabaikan, ia hanya
mendasarkan atas kalkulasi politik saja. Kesalahan ini berakibat fatal,
Jenderal Soeharto tidak akan pernah mengakui kepemimpinan Pranoto. Soeharto mengetahui
tingkah laku politik Pranoto yang cenderung berpihak kepada PKI. Kematian Ahmad
Yani, seorang panglima yang anti komunis, dan digantikan oleh Pranoto, seorang
yang pro komunis, tidak dapat diterima oleh Soeharto. Selain itu, ada faktor
nonpolitik dan ideologis bahwa antara Pranoto dan Soeharto mempunyai konflik
pribadi. Kondisi itulah yang memaksa Soekarno untuk tunduk kepada kenyataan
bahwa Soeharto memang lebih unggul darpada Pranoto dalam segala bidang, meski
Soekarno juga masih memendam rasa tidak senang yang mendalam terhadap Soeharto
sejak peristiwa 3 Juli 1946. Di samping itu, TNI AD menganggap bahwa sasaran
pokok G-30-S adalah merebut posisi pimpinan Angkatan Darat yang anti PKI. Pada gilirannya
Soekarno berhadapan sendiri dengan Soeharto, terutama dalam sidang-sidang Koti,
suatu lembaga negara dalam keadaan darurat yang dipimpin langsung oleh Presiden
selaku Panglima Tertinggi. Dalam sidang itu, perdebatan terjadi antara Soekarno
dan Soeharto mengenai masalah keamanan negara, yang oleh Soeharto disebut “dialog”.
Di dalam dialog itu terjadi perbedaan pendapat yang mendasar, yaitu cara
mengatasi krisis nasional dan krisis kepercayaan nasional yang meliputi
masalah:
1. Konfrontasi dengan Malaysia
2. Keamanan dan ketertiban
3. Nasakom dan Pancasila
4. Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa
Presiden Soekarno melihat bahwa masalah G-30-S adalah
masalah politik yang harus diselesaikan secara politik juga. Penyelesaian politik
memerlukan keamanan dan ketertiban lebih dulu. Jenderal Soeharto berpendapat
bahwa penyelesaian politik dan keamanan harus diselesaikan secara simultan,
yaitu dengan membubarkan PKI sebagai dalang G-30-S. Presiden Soekarno
berpendapat bahwa kalau PKI dibubarkan, anggota dan kader mereka akan melakukan
gerilya politik dan membuat berbagai kekacauan dalam masyarakat. Mengenai Nasakom,
Soekarno menyatakan bahwa ia telah mencanangkannya ke seluruh dunia dan
menjadikannya sebagai modal persatuan nasional antara ideologi nasionalisme,
komunisme, dan agama-agama yang berbeda dibawah payung Pancasila. Nasakom telah
diterima di negara-negara New Emerging Forces (Nefo). Oleh karena itu Presiden
Soekarno menolak membubarkan PKI karena merupakan organisasi yang berazas
komunisme dan salah satu unsur Nasakom.
Dialog Soekarno dan Soeharto berlangsung sangat keras.
Seoharto mengakui bahwa ia pernah dikonfrontasi dengan panglima-panglima
angkatan lain, seperti Jenderal Polisi Soetjipto Joedodihardjo, Laksamana
Moeljadi, dan Laksamana Sri Mulyono Herlambang. Soekarno mengenal Soeharto,
yang dianggapnya sebagai seorang yang “keras kepala” (koppig), sangat teguh
pendirian, dan sulit menerima pendapat orang lain. demikian pula Soekarno tidak
berbeda dengan Soeharto, berkarakter koppig. Sampai akhirnya Soekarno
menggunakan kekuasaannyan karena tidak berhasil “menaklukkan” pendirian Soeharto.
Soekarno mengatakan, “kamu seorang prajurit, kerjakan apa yang saya
perintahkan. Mengenai perjuangan serahkan kepada saya.”
Akan tetapi Soeharto tetap pada pendiriannya. Ia menilai
PKI telah melakukan tindakan kudeta, karena itu harus ditindak. Jika tidak
ditindak berarti memberi kesempatan, dan PKI akan mengulangi perbuatannya. Intinya
Soeharto menginginkan PKI untuk dibubarkan. Untuk mengurangi ketakutan
(Soekarno) terhadap gerilya politik PKI, Soeharto mengusulkan agar pembangunan
di desa-desa diintensifkan, karena kemiskinan di desa-desa merupakan pupuk
penyubur bagi perkembangan pengaruh komunisme. Pembangunan dilakukan dengan
cara menghimpun dana, mengadakan yayasan-yayasan setempat, serta membeli
traktor dan bibit ternak yang kemudian diserahkan kepada rakyat. Bagi Soekarno,
cara mengatasi keadaan rakyat mudah dilakukan, asal Soeharto menjalankan
perintahnya. Perintah Soekarno adalah memadamkan gerakan mahasiswa dan rakyat
yang menentang kebijakannya. Soeharto menolak saran Soekarno dan menyatakan
bahwa gerakan mahasiswa serta rakyat tidak semata-mata menentang Soekarno,
justru mereka mendukung dan mengamankan Soekarno untuk menyelamatkan revolusi. Soeharto
mengatakan, “Kalau saya disuruh menghancurkan mahasiswa dan rakyat yang
menentang PKI, sebetulnya sama halnya saya menghancurkan kekuatan yang harus
mengamankan Pancasila.”
Oleh karena Soekarno menilai bahwa gerakan rakyat
didalangi oleh imperialis Amerika, maka Soeharto dengan tegas menolak
sinyalemen Soekarno. Menurut Soeharto, yang benar adalah bahwa rakyat telah
menyadari bahaya komunisme. Dengan bukti bahwa keterlibatan PKI sebagai dalang
G-30-S tidak dapat dibantah.
Presiden Soekarno tidak begitu saja menyerah. Ia melakukan
gerakan baru untuk mempertahankan kekuasaannya dengan dibantu oleh pendukung,
baik kelompok maupun perorangan, yang bersimpati kepadanya. Mereka berusaha
untuk memindahkan Soekrano dari Jakarta ke suatu tempat di Jawa Timur.
Mengenai masalah pengehentian konfrontasi dengan
Malaysia, Soekarno telah mengetahui bahwa sejak April 1965 ABRI berusaha untuk
mengakhiri konfrontasi melalui operasi intelijen. Upaya lain Soekarno untuk
meredam demonstrasi adalah mencoba mendekati mahasiswa. Pada 21 Desember 1965
Presiden Soekarno mengundang pimpinan HMI untuk mendengarkan ceramahnya di
Istana. Presiden menganjurkan kepada HMI agar mereka tidak hanyut dalam arus
kontra revolusi.
Pada awal tahun 1966, Soekarno melakukan offensif
balas terhadap Soeharto. Presiden Soekarno gelisah terhadap aksi-aksi mahasiswa
yang semakin meningkat. Ia menganggap aksi mereka sebagai usaha pendongkelan
terhadap kedudukannya yang disponsori oleh Nekolim. Otoritas tertinggi Soekarno
berdasarkan Undang-Undang Keadaan Darurat adalah terhadap Komando Operasi
Tertinggi (Koti). Koti yang merupakan pusat pusat kekuasaan Presiden Soekarno
berhasil diminimalisasi oleh Soeharto menjadi Komando Ganyang Malaysia (Kogam)
yang hanya membawahi Komando Mandala Siaga. Sebaliknya Jenderal Soeharto
berhasil memperkuat posisi Kopkamtib. Komando-komando daerah Koti, yaitu Penguasa
Pelaksana Dwikora Daerah (Pepelrada), diambil alih oleh Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang kemudian berganti menjadi
Kopkamtibda (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah). Jenderal
Soeharto berhasil mematahkan kekuasaan Komando Soekarno yang hanya tinggal
membawahi eselon staf kogam.
Daftar pustaka:
·
Pramodya Ananta Toer, “Memoar Oei Tjoe
Tat” (Jakarta: Hasta, 1998).
·
M. Panggabean, “Berjuang dan Mengabdi”
(Jakarta: Sinar Harapan, 1993).
·
Christianto Wibisono, “Aksi-aksi Tritura
Kisah sebuah Partnership 10 januari-11 Maret 1966” (Jakarta: Pusat Sejarah
Angkatan Bersenjata, 1970).
·
B.M. Diah, “Meluruskan Sejarah”
(Jakarta: PT.Merdeka Press, 1987)